Aug 14, 2014

Menangislah ketika membaca Al-Qur'an

"Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.)".
QS: Al-Maidah Ayat: 83
-----------------------------------------------------------------------------
"Menangislah ketika engkau membaca Al-Qur'an, jika tidak bisa, berpura-puralah menangis, Lalu tangisi kepura-puraanmu"
~Salim A Fillah~



Sumber : Inspiring Story, Fatimah Elianaa
Karya : Wasni Ar-Rasyid

Via : Facebook Stiker Dakwah
-----------------------------------------------------------------------------

-- Fatimah Elianaa --


“Farhan, ada kuis nih han. Disuruh jawab, keindahan apa yang menyedihkan menurut anda? Nah han jawabin dong.. biar gue dapet novel gratis.” Kesya mendekati farhan sambil menyodorkan handphone nya. Farhan tak bergeming, dia masih asyik dengan laptopnya.

“Sapa yang pengen dapet novel? Lo kan kes? jadi lo lah yang harus jawab.” Ujar yudit tanpa diminta. Kesya terlihat masygul, tapi Dia tetap menyodorkan handphonenya. “Farhan! Ayo dong.. jawab.” Kesya mulai merengek manja. Sukses. Tanpa hitungan detik farhan langsung menoleh kearah kesya. Disambut wajah kesya yang sumringah. Kesya memandangku, aku hanya mengulum senyum. “Kalo menurutku sih, keindahan yang menyedihkan itu, ketika lamaranku diterima tapi esoknya…” kalimat Farhan mengatung, kesya mengerjap kaget, yudit terdiam, mataku tiba-tiba menghangat yang kemudian bulir-bulir air mata berjatuhan dengan lancang. “Rara. Kok lo nangis?”

***

Fatimah Elianaa. Nama itu kini terngiang-ngiang ditelingaku sejak sepulang mengerjakan tugas mendekorasi mushola bersama Farhan, Yudit dan Kesya tadi sore. Pun begitu sosoknya, senyumnya, keramahannya, dan wajahnya yang bisa meneduhkan setiap mata yang memandangnya termasuk aku, aku yang dulu sangat membencinya. Semua hal tentang Fatimah Elianaa terus menari-nari dipelupuk mata. Membuat rasa rindu begitu membuncah dari lubuk hatiku, begitupun rasa sesalku yang tak pernah hilang. Andai dia masih ada disini. Andai dia masih bisa kupeluk. “Rara. Lo kenapa?” Kesya tiba-tiba datang mengagetkanku. Suara khasnya mengalun dengan lembut. Lalu dia menatapku penuh iba, seolah dia tahu apa yang aku rasakan. Aku hanya bisa tersenyum.“Ra, gue kan sahabat lo. Masa lo gak mau cerita sama gue. Lo cerita dong Ra kalo ada apa-apa. Gue gak mau kata sahabat Cuma kata tanpa makna.” Kesya memegang bahuku , wajahnya memelas. “Aku.. suka farhan.” Ungkapku terbata-bata. “Astaga. gue tahu itu Ra. Terus napa lo nangis tadi?” kesya mulai terlihat jengkel. Dia memang tak sabaran. “Aku juga.. sayang Fatimah Elianaa. Kamu tahu siapa Fatimah Elianaa?” Pandanganku mulai mengabur. Mataku kembali menghangat. Meski begitu masih bisa kulihat Kesya menggeleng pelan. “Dua tahun yang lalu.. Ada seorang gadis, umurnya satu tahun lebih tua dariku. Jika kamu menatap matanya, kamu akan merasa teduh sampai kehati. Sekalipun jika kamu membencinya sepertiku dulu.” Mengenang Fatimah Elianaa membuat air mata menggenangi pipi. Aku sedih dan rindu. “Dulu lo benci sama dia? Kenapa Ra?” Ujar kesya tanpa mengalihkan pandanganya dariku sekalipun. Sedikit demi sedikit kenangan tentang Fatimah Elianaa, kuungkapkan pada kesya.

***

Tak pernah bisa aku lupa senyumnya, ketika aku terus berusaha menyingkirkan dia dari keorganisasian di mushola. Setiap cacian yang aku lontarkan, dia hanya tersenyum lalu mengucapkan kalimat yang membuatku menangis setelah pulangnya. Yang dia ucapkan bukan hujatan atau cacian seperti yang aku ucapkan, melainkan sebuah rangkaian kata-kata indah seorang muslimah Allah yang teramat bersih hatinya. Pernah suatu ketika, aku kembali menghujatnya, padahal dia sedang mengaji.
“Fatimah! Ngapain lo ngaji sambil nangis? Cari muka ya lo?” aku menuduhnya seakan dia mahluk hina. Begitupun pandanganku, penuh benci padanya. Namun dia tersenyum. Dia berkata dengan pelan. “Ukhti, pernakah ukhti mendengar kata-kata dari Ustadz Salim A. Fillah?” Pandangannya menelisik hatiku. Aku diam tak perduli. “Ukhti, menangislah ketika kamu membaca Al-qur’an, jika tidak bisa, maka berpura-puralah menangis, lalu, tangisilah kepura-puraanmu. Maaf Ukhti, aku hanya manusia yang banyak dosa. Saat inipun aku masih menangisi kepura-puraanku.” Ujarnya sambil mengusap air mata. Ucapannya menyesakkan dadaku, membuat sekujur tubuhku merinding, mataku pun menghangat. Tapi kebencian masih menyemangatiku untuk terus menghujatnya. “Alah! Itu sih alasan Lo aja.” Ujarku sambil melangkah pergi. 

Beberapa hari kemudian. Aku melihat Farhan duduk di teras mushola, sambil terus memandang Fatimah yang saat itu sedang mengajari anak-anak kecil mengaji. Kulihat sorot mata farhan penuh hal yang sangat kuiinginkan darinya. Itu sangat membuatku sakit hati. Kebencianku semakin subur untuk Fatimah. Tidak tahan melihat apa yang dilakukan farhan, aku mendekatinya. Farhan terkaget, tapi dia hanya menoleh kearahku, lalu dia kembali memandangi Fatimah. Hatiku serasa ditusuk belati. “Farhan,kamu jangan liatin dia kayak gitu. Dosa loh.” Ujarku mencoba menggodanya. Dia menoleh kearahku lalu tersenyum. Ah serasa dunia ini bisa kupeluk setiap melihat senyumnya. “Aku benar-benar kagum sama dia. Aku baru sadar, terkadang, bidadari tak bersayap , tapi beransel. Seperti dia contohnya.” Farhan tersenyum penuh arti sambil kembali memandang Fatimah yang kini tengah berdiri sambil memakai ranselnya. “Kagum sama apanya sih farhan. Dia cuma cewek yang suka cari perhatian. Tau gak. Dia ngajarin ngaji Cuma untuk memikat hati laki-laki yang ada disini aja.” Pohon kebencian yang tertanam dihatiku membuahkan kalimat-kalimat kasar yang terlontar tak peduli untuk siapapun. Mata farhan terbelalak mendengar ucapanku. Dia menatapku lekat-lekat. “Dengar ya Ra! Sebaiknya kamu jaga ucapanmu itu, dan kamu harusnya berterima kasih sama dia. Dia udah nolong kamu waktu kamu sekarat.” Aku kaget bukan buatan. “Nolong aku waktu sekarat? Kapan han? Kapan?” Aku semakin nyolot menantangnya. “Kamu gak inget? Waktu kamu kecelakaan motor? Kamu masuk rumah sakit dan butuh donor darah kan? Darah dia yang tersalur ke tubuhmu.” Ucapan Farhan membuat tenggorokanku tercekat. Tak pernah aku sangka semua yang dikatakan farhan. Aku malu dan mulai dihantui rasa bersalah. Aku pandang Fatimah yang kini hanya jejak bayangannya. Aku janji, esok akan kuperbaiki semua sikapku padanya.

***

“Ra, Farhan terus ngirim surat. Dia bilang ingin melamarku. Apa kamu baik-baik aja kalo aku nerima dia?” Mata bundar Fatimah yang indah menatapku dengan bimbang, meski begitu tak sedikitpun mengurangi keteduhan matanya. Melihatku hanya tersenyum, Fatimah berdiri didekatku, dan menyenderkan kepalanya ke tembok. Sudah lama sejak aku meminta maaf padanya kami bersahabat, semua hal menjijikan tentangnya yang selalu bersemayam dihatiku lenyap tak berbekas. Sebab satu hal pun anggapanku tentang dia tidak pernah benar. Satu tahun sudah aku menjadi sahabatnya, semua hal tentang dia tidak pernah aku lewatkan. Selayaknya seorang sahabat, kami selalu bertukar Cerita, sekalipun hal yang sangat berarti dan pribadi, seperti suatu ketika, Dia mencurahkan isi hatinya padaku. “Ra, aku kangen sama Emak dan Bapak. Sekarang susah banget berkomunikasi dengan mereka. Aku khawatir Ra. Sudah lama aku nggak ngirim uang untuk mereka.” Ujar Fatimah dengan tulus. Subhanallah, Fatimah memang benar-benar bidadari tak bersayap. Dia rela meninggalkan sekolah formalnya demi menghasilkan rupiah untuk dikirim ke orang tuanya. Meski orang tuanya tidak pernah memperhatikan dia sekalipun dari semenjak kecil.Tidak hanya soal uang, Dia bahkan terus berusaha belajar menjadi hafidzah “Aku ingin menghadiahkan Emak dan Bapak jubah emas di surga nanti,jadi aku harus belajar menghafal Qur’an tiap hari.” ungkapnya ketika aku menanyakan alasan kenapa dia rela jauh-jauh ke mushola setiap hari. “Ra. Maafin aku ya, aku gak kuat den
gan sikap Farhan. Dia gak mau berhenti berusaha bikin aku terkesan sama dia.” Ujar Fatimah membuyarkan kenangan-kenangan yang pernah kita lewati. Aku tahu maksudnya, dia mulai menyadari bahwa dia mempunyai rasa pada farhan. “Fatimah sayang, kenapa sih kamu? Kan aku sudah bilang sama kamu, sudah lama aku mengihlaskan farhan untuk kamu. Farhan dan kamu sangat cocok. Kalian sama-sama hamba Allah yang taat. Aku yakin, kalau kalian bersatu, kalian pasti akan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.” Aku mengoceh tak kira-kira. Fatimah terdiam. Matanya berkaca-kaca. Kemudian bulir-bulir air mata berjatuhan ke pipinya yang mulus. Dia memelukku. Berterima kasih tak henti-henti. Aku tahu Fatimah, aku tahu kamu mengharapkan ini dari pertama kali Farhan mengirimu surat.
 

***
  “Jadi, Farhan akhirnya ngelamar Fatimah? Lah terus gimana Ra?” Kesya menyerbuku dengan pertanyaannya yang seperti tidak pernah habis. “Terus, aku nganter Fatimah ke kampungnya buat acara lamaran.” Jawabku sambil mengenang Fatimah. “Terus? Kok Farhan masih disini? Kok mereka belom nikah?”

“Karena keesokan setelah malam lamaran, aku dan Fatimah kecelakaan. Aku sempat mengalami kebutaan, lalu aku dioperasi, setelah aku bisa melihat. Aku nggak pernah melihat Fatimah lagi.”
“Jadi… Mata lo itu…” Aku mengangguk sebelum kesya melanjutkan ucapannya. Lalu aku tertunduk sampai habis air mataku. 

***
Tag:  Free Download  Wallpaper Islam Islamic Design Dakwah Da'wah Typography Indonesia pura-pura menangis al-qur'an

No comments:

author
Design Dakwah
Sebuah page nirlaba yang berkarya untuk menyebarkan dakwah melalui Visual dakwah.